Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Skandal Pemotongan Dana PKH dan BPNT di Banjar Agung Ilir: Penyalahgunaan Wewenang Kepala Pekon

Jumat, 25 Oktober 2024 | 08.14.00 WIB Last Updated 2024-10-25T01:26:34Z

Oleh: N.S. bana (Jurnalis, tinggal di Tanggamus)


Tanggamus, bbiterkini.com -- Berita viral yang terjadi di Pekon Banjar Agung Ilir, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus Lampung, menyoroti beberapa masalah serius terkait distribusi bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Kasus ini melibatkan Kepala Pekon Banjar Agung Ilir, yang diduga mengarahkan penerima manfaat (Keluarga Penerima Manfaat/KPM) untuk menarik dana PKH dan BPNT di Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) setempat, yang kemudian disusul dengan laporan pemotongan sebesar Rp10.000 untuk kas pekon, serta pengumpulan kartu ATM KPM oleh oknum BUMDes atas perintah Kepala Pekon, (25/10/2024)


Dalam opini saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait situasi ini:


1. Pelanggaran Etika dan Hukum

Tindakan Kepala Pekon yang diduga mengarahkan KPM untuk menarik dana di BUMDes secara eksklusif, tanpa memberi kebebasan pada masyarakat untuk memilih tempat penarikan yang paling nyaman atau menguntungkan, adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi, pemotongan Rp10.000 dari dana yang seharusnya diterima penuh oleh masyarakat jelas merupakan tindakan yang melanggar etika dan hukum, mengingat bantuan sosial dirancang untuk sepenuhnya mendukung kesejahteraan masyarakat yang membutuhkan. Setiap bentuk pemotongan tanpa persetujuan resmi atau transparansi yang jelas merupakan pelanggaran serius.


2. Pengumpulan ATM: Bentuk Pemaksaan dan Potensi Penyalahgunaan

Pengumpulan kartu ATM penerima bantuan oleh oknum BUMDes juga menjadi isu yang mengkhawatirkan. Kartu ATM merupakan alat pribadi yang seharusnya hanya dipegang oleh pemiliknya. Dengan adanya dugaan bahwa kartu-kartu ini dikumpulkan, ada potensi besar penyalahgunaan dana bantuan. Praktik semacam ini dapat membuka pintu bagi manipulasi, korupsi, atau penggunaan dana untuk kepentingan pihak lain selain penerima manfaat.


3. Kepentingan BUMDes

BUMDes seharusnya menjadi lembaga yang membantu perekonomian desa, bukan alat untuk mengambil keuntungan dari bantuan sosial. Jika benar BUMDes terlibat dalam praktik ini, maka ada kekeliruan mendasar dalam bagaimana lembaga tersebut dikelola dan diarahkan. Setiap keputusan atau tindakan yang diambil oleh BUMDes harus sejalan dengan prinsip transparansi dan tanggung jawab kepada masyarakat, bukan malah merugikan mereka yang paling rentan.


4. Kebutuhan Reformasi Pengawasan dan Transparansi

Kasus ini menggarisbawahi perlunya reformasi dalam hal pengawasan distribusi bantuan sosial. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses distribusi bantuan, terutama di tingkat desa. Pemerintah daerah dan pihak berwenang harus segera mengambil tindakan untuk menyelidiki kasus ini, memberikan sanksi yang sesuai kepada mereka yang terlibat, serta memastikan bahwa bantuan disalurkan dengan adil dan tepat sasaran.


Kesimpulannya, kasus ini tidak hanya mencoreng nama baik aparat desa, tetapi juga mengkhianati kepercayaan masyarakat yang seharusnya dibantu oleh program-program pemerintah. Perlindungan hak masyarakat, khususnya penerima manfaat bantuan sosial, harus menjadi prioritas, dan pihak berwenang harus segera turun tangan untuk memperbaiki situasi ini serta mencegah kejadian serupa terulang di masa depan. ****